Welcome

Selamat Datang di Blog Balintang

Senin, 30 Mei 2011

Sejarah hukum agraria sebelum dan sesudah berlakuknya UUPA

Landasan Hukum Agraria islah ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 45 merupakan sumber hukum materiil dalam pembinaan hukum agraria nasional.

Hubungan Pasal 33 (3) UUD 45 dengan UUPA:
1. Dimuat dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi pengaturannya.
“bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong”
2. Dalam penjelasan UUPA angka 1.
“hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara….” Pengaturan keagrariaan atau pertanahan dalam UUPA yaitu untuk mengatur pemilikan dan memimpin penggunaannya, harus merupakan perwujudan dan pengamalan dasar negara pancasila dan merupakan pelaksanaan dari UUD 45 dan GBHN.Bahwa UUPA harus meletakkan dasar bagi hukum agraria nasional yang akan dapat membawa kemakmuran, kebahagiaan, keadilan serta kepastian hukum bagi bangsa dan negara.

Hukum Agraria Dlm Tata Hukum Indonesia

Menurut UUPA
Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang bertujuan:
1.Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional
2.Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan
3.Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat.
Berdasarkan tujuan pembentukan UUPA tersebut maka seharusnyalah kaidah-kaidah hukum agraria dibicarakan oleh suatu cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri, yaitu cabang ilmu hukum agraria. Menurut Prof Suhardi, bahwa untuk dapat menjadi suatu cabang ilmu harus memenuhi persyaratan ilmiah yaitu:
1.Persyaratan obyek materiil
Yaitu bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
2.Persyaratan obyek formal
Yaitu UUPA sebagai pedoman atau dasar dalam penyusunan hukum agraria nasional
Berdirinya cabang ilmu hukum agraria kiranya menjadi sebuah tuntutan atau keharusan, karena:
1. Persoalan agraria mempunyai arti penting bagi bangsa dan negara agraris.
2. Dengan adanya kesatuan/kebulatan, akan memudahkan bagi semua pihak untuk mempelajarainya.Disamping masalah agraria yang mempunyai sifat religius, masalah tanah adalah soal masyarakat bukan persoalan perseorangan.
sumber : http://hk-agraria.blogspot.com/2009/03/hukum-agraria-dlm-tata-hukum-indonesia_04.html

Landasan Hukum Agraria

Landasan Hukum Agraria islah ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 45 merupakan sumber hukum materiil dalam pembinaan hukum agraria nasional.

Hubungan Pasal 33 (3) UUD 45 dengan UUPA:
1. Dimuat dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi pengaturannya.
“bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong”
2. Dalam penjelasan UUPA angka 1.
“hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara….” Pengaturan keagrariaan atau pertanahan dalam UUPA yaitu untuk mengatur pemilikan dan memimpin penggunaannya, harus merupakan perwujudan dan pengamalan dasar negara pancasila dan merupakan pelaksanaan dari UUD 45 dan GBHN.Bahwa UUPA harus meletakkan dasar bagi hukum agraria nasional yang akan dapat membawa kemakmuran, kebahagiaan, keadilan serta kepastian hukum bagi bangsa dan negara.

SUMBER HUKUM KETENAGAKERJAAN

Sumber Hukum Ketenagakerjaan
Sumber hukum formil di bidang ketenagakerjaan meliputi:
1. Undang-Undang
2. Peraturan lain yang kedudukannya lebih rendah dari UU
3. Kebiasaan
4. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, baik daerah maupun pusat (P4D/P4P), dan putusan peradilan umum.
5. Perjanjian perburuhan, perjanjian kerja atau peraturan perusahaan.
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, dalam tulisan ini hanya akan dibahas mengenai sumber hukum yang berkaitan dengan perjanjian. Dengan demikian pembahasan selanjutnya hanya akan berkaitan dengan sumber hukum formil yang kelima.
PErjanjian perburuhan, perjanjian kerja, dan peraturan perusahaan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pihak-pihak dalam perjanjian perburuhan meliputi organisasi buruh dan majikan atau organisasi majikan. Pihak-pihak dalam perjanjian kerja adalah buruh dan majikan secara individual. Sedangkan pihak dalam peraturan perusahaan adalah majikan,
b. Isi perjanjian perburuhan adalah syarat-syarat umum yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja. Perjanjian kerja berisi hak dan kewajiban buruh dan majikan. Peraturan perusahaan berisi ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh buruh dalam melakukan perkerjaan.
c. Keberadaan perjanjian perburuhan mensyaratkan adanya organisasi buruh, sedangkan dalam perjanjian kerja dan peraturan perusahaan tidak memerlukan adanya organisasi buruh.
sumber : http://bnpds.wordpress.com/2008/05/08/perjanjian-ketenagakerjaan/

Lisensi, Kritik, Konsep, Asosiati dan Fatwa MUI mengenai Hak Cipta

Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
Kritikan-kritikan terhadap hak cipta secara umum dapat dibedakan menjadi dua sisi, yaitu sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta tidak pernah menguntungkan masyarakat serta selalu memperkaya beberapa pihak dengan mengorbankan kreativitas, dan sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta sekarang harus diperbaiki agar sesuai dengan kondisi sekarang, yaitu adanya masyarakat informasi baru.
Keberhasilan proyek perangkat lunak bebas seperti Linux, Mozilla Firefox, dan Server HTTP Apache telah menunjukkan bahwa ciptaan bermutu dapat dibuat tanpa adanya sistem sewa bersifat monopoli berlandaskan hak cipta . Produk-produk tersebut menggunakan hak cipta untuk memperkuat persyaratan lisensinya, yang dirancang untuk memastikan kebebasan ciptaan dan tidak menerapkan hak eksklusif yang bermotif uang; lisensi semacam itu disebut copyleft atau lisensi perangkat lunak bebas.
  • KCI : Karya Cipta Indonesia
  • ASIRI : Asosiasi Indrustri Rekaman Indonesia
  • ASPILUKI : Asosiasi Piranti Lunak Indonesia
  • APMINDO : Asosiasi Pengusaha Musik Indonesia
  • ASIREFI : Asosiasi Rekaman Film Indonesia
  • PAPPRI : Persatuan Artis Penata Musik Rekaman Indonesia
  • IKAPI : Ikatan Penerbit Indonesia
  • MPA : Motion Picture Assosiation
  • BSA : Bussiness Sofware Assosiation

Struktur Spasial Perekonomian Kota dan Aglomerasi Ekonomi

Struktur Spasial Perekonomian Kota dan Aglomerasi Ekonomi

Terdapat 3 skala ekonomi yang mungkin terjadi di perusahaan-perusahaan, yaitu skala ekonomi konstan, skala ekonomi meningkat dan skala ekonomi menurun. Skala ekonomi tersebut akan menentukan keputusan bagi perusahaan apakah mereka tetap mengelompok atau tidak. Pada kasus skala ekonomi konstan pengelompokan yang terjadi tidak akan berlangsung lama. Sebaliknya pada skala ekonomi meningkat pengelompokan ekonomi akan terus berlanjut.
Pengelompokan perusahaan dan aktivitas dalam suatu wilayah dikenal dengan istilah aglomerasi. Keuntungan dari aglomerasi ekonomi adalah, (a) menghemat biaya transportasi dan (b) menghemat biaya iklan. Dengan demikian, secara umum maka biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan akan dapat dihemat dari adanya pengelompokan tersebut. Adapun dampak negatif dari adanya eglomerasi ekonomi adalah (a) timbulnya kemacetan, (b) timbulnya berbagai jenis polusi, dan (3) meningkatnya angka kriminalitas.
Menurut Marshall terdapat tiga sumber mengapa aglomerasi ekonomi selalu terjadi, yaitu (a) kelimpahan informasi (information spillovers), (b) input lokal yang tidak diperdagangkan (local non-traded inputs), dan (ci) ketersediaan tenaga kerja terampil lokal (local skilled labour pool).

Jenis-jenis Aglomerasi dan Pengelompokan Ekonomi Lainnya

  1. Terdapat 3 jenis aglomerasi ekonomi, yaitu (1) internal return to scale, timbul karena perusahaan memiliki skala ekonomi yang besar, (2) lokalisasi ekonomi, terjadi pada satu kelompok perusahaan dalam satu industri yang sejenis yang terletak pada lokasi yang sama, dan (3) urbanisasi Ekonomi, timbul pada perusahaan-perusahaan dari sektor industri yang berbeda-beda yang mengelompok di lokasi yang sama.
  2. Menurut Hoover jenis-jenis aglomerasi tersebut terutama disebabkan oleh adanya perbedaan definisi antara perusahaan dan industri. Perusahaan adalah aktivitas yang mengombinasikan input sedemikian rupa untuk menghasilkan barang atau jasa. Industri adalah kumpulan perusahaan yang memproduksi produk yang sejenis.
  3. Di samping teori aglomerasi terdapat 5 teori lain yang mampu menjelaskan mengapa pengelompokan perusahaan tersebut selalu terjadi. Kelima teori tersebut adalah (1) model kutub pertumbuhan, (2) model inkubator, (3) model siklus produk, (4) model Porter, dan (5) model area industri baru.

Pasar Lahan dan Model Von Thunen

  1. Lahan merupakan satu-satunya faktor produksi yang tidak mengalami peningkatan sehingga kurva permintaan lahan akan berbentuk vertikal. Jika terjadi kenaikan permintaan terhadap lahan maka harga sewa lahan akan semakin meningkat.
  2. Menurut von Thunen kurva bid-rent akan ber-slope negatif. Lebih lanjut von Thunen menyatakan bahwa harga output dan biaya transportasi merupakan 2 faktor penting dalam menentukan radius suatu perkotaan. Jika harga output naik maka radius pasar akan meningkat. Jika biaya transportasi semakin meningkat maka raidus kota akan berkurang.
  3. Jika terjadi persaingan antarprodusen dalam memanfaatkan lahan maka produsen yang mampu membayar sewa lahan yang paling tinggi akan memenangkan persaingan tersebut. Umumnya kegiatan yang nilai jualnya tinggi akan cenderung berlokasi di dekat pusat kota, sebaliknya kegiatan yang nilai jualnya rendah akan cenderung berlokasi di pinggiran kota.

Model Bid-Rent (Penawaran Sewa) bagi Perusahaan dan Rumah Tempat Tinggal

  1. Pada model bid-rent perbandingan antara penggunaan lahan dengan non-lahan diasumsikan sudah mengalami perubahan. Artinya, jika sewa lahan sangat tinggi maka produsen/rumah tangga akan menggunakan lahan dalam jumlah yang sedikit, dan mengompensasi dengan menggunakan barang non-lahan lebih banyak. Sementara pada model von Thunen perbandingan antara lahan dengan non-lahan diasumsikan tetap. Dengan demikian, kurva bid-rent akan berbentuk cembung terhadap titik asal, sedangkan menurut von Thunen kurva bid-rent akan berbentuk garis lurus.
  2. Untuk menghemat biaya transportasi maka sektor perekonomian yang berorientasi kepada konsumen akan memilih lokasi dekat pusat kota. Sebaliknya pada sektor yang memerlukan lahan yang relatif lebih luas dan membutuhkan bahan mentah dari sektor-sektor pertanian maka untuk menghemat biaya transportasi sektor ini akan cenderung berlokasi di pinggiran kota.
  3. Lokasi tempat tinggal antargolongan rumah tangga sangat ditentukan oleh jarak relatif. Jika jarak relatif diasumsikan konstan maka rumah tangga kaya cenderung akan berlokasi di pinggiran kota, sementara rumah tangga yang berpendapatan rendah berlokasi di pusat kota. Sebaliknya apabila jarak relatif semakin meningkat maka rumah tangga yang berpendapatan tinggi akan berlokasi di pusat kota dan rumah tangga berpendapatan rendah berlokasi di pinggiran kota
Sumber Buku Ekonomi Regional Karya D.S. Priyarsono
sumber : http://massofa.wordpress.com/2008/03/02/struktur-spasial-perekonomian-kota-dan-aglomerasi-ekonomi/

Pengalihan Hak dan Lisensi Desain Industri

Hak Desain Industri dapat beralih atau dialihkan dengan cara pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Pengalihan hak desain industri tersebut harus disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak dan wajib dicatat dalam daftar umum desain industri pada Ditjen HKI dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengalihan hak desain industri yang tidak dicatatkan dalam daftar umum desain industri tidak berakibat hukum pada pihak ketiga. Pengalihan hak desain industri tersebut akan diumumkan dalam berita resmi desain industri.

Lisensi Hak Desain Industri

Pemegang Hak Desain Industri dapat memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian lisensi dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu untuk melaksanakan hak desain industri dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan/atau mengedarkan barang yang di dalamnya terdapat seluruh atau sebagaian desain yang telah diberi hak desain industri, kecuali jika diperjanjikan lain. Perjanjian lisensi ini dapat bersifat ekslusif atau non ekslusif. Perjanjian lisensi wajib dicatatkan dalam daftar umum desain industri pada Ditjen HKI dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perjanjian lisensi ini kemudian diumumkan dalam berita resmi desain industri. Perjanjian lisensi yang tidak dicatatkan tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Bentuk dan Isi Perjanjian Lisensi.
Pada dasarnya bentuk dan isi perjanjian lisensi ditentukan sendiri oleh para pihak berdasarkan kesepakatan bersama, namun tidak boleh memuat ketentuan yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan bagi perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

Catatan

  1. ^ Perlindungan Desain Industri di Indonesia dan Ketentuan Internasional di Bidang Desain Industri. Mayana, R.F. 2011. Panitia Pelatihan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual. Kerjasama antara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dan Direktorat Jenderal HKI Kementrian Hukum dan HAM RI. Hal 4
  2. ^ Lindsey, Tim dkk (2006). Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Suatu Pengantar.ISBN 979-414-383-9
  3. ^ Prinsip-Prinsip Dasar desain Industri. Mayana, R.F. 2011. Materi Pelatihan Konsultan HKI. Panitia Pelatihan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual. Kerjasama antara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dan Direktorat Jenderal HKI Kementrian Hukum dan HAM RI. Hal 9
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Desain_industri

Desain TataLetak

Untuk mempermudahkan pengertiannya secara garis besar istilah “desain tata letak sirkuit terpadu” dibagi dua yaitu “desain tata letak” dan “sirkuit terpadu”, yang masing-masing pengertiannya adalah sebagai berikut:
Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang didalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu didalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik.
Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu sirkuit terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan sirkuit terpadu.
Persyaratan:
  1. Surat Kuasa ditandatangani diatas materai Rp. 6000,-
  2. Surat Pernyataan ditandatangani diatas materai Rp. 6000,-
  3. Foto Copy KTP
  4. Foto Copy Akte Pendirian Perusahaan yang dilegalisir (jika berbadan usaha)
  5. Foto Copy NPWP (jika berbadan usaha)
  6. Contoh hambar atau sketsa desain diatas kertas 100gr sebanyak rangkap 5 yakni:
    • Tampak depan
    • Tampak belakang
    • Tampak atas
    • Tampak bawah
    • Tampak keseluruhan
    • Klasifikasi desain dan deskripsi
    • Nama pembuat atau penemu desain
    sumber : http://www.gunadihandoko.com/layanan/desain-tata-letak-sirkuit-terpadu

Perbuatan yang Dilarang Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999

Esensi Perlindungan Konsumen Bagi Pelaku Usaha
Piranti Hukum Perlindungan Konsumen tidak untuk mematikan usaha Pelaku Usaha, justru sebaliknya dapat mendorong tumbuhnya iklim berusaha yang sehat yang pada gilirannya dapat melahirkan Pelaku Usaha yang tangguh dalam menghadapi persaingan usaha yang sehat melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas, memenuhi aspek keamanan, kesehatan dan keselamatan konsumen.
Apa saja yang Perlu Diperhatikan
Dalam menjual barang dan/atau jasa, perhatikan dan penuhilah ketentuan-ketantuan Perlindungan Konsumen yang menyangkut : Kewajiaban Pelaku Usaha, Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha dan Tanggungjawab Pelaku Usaha.
Apa Kewajiban Pelaku Usaha
  1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya dan Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  2. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ;
  3. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  4. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  5. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Peran Pemerintah dan Platform Kebijakan

Pembangunan perlindungan konsumen harus dilaksanakan bersama oleh stakeholder-nya, baik pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Gerakan pemberdayaan konsumen perlu dikembangkan untuk melindungi kepentingan konsumen secara integratif, menyeluruh, serta dapat diterapkan secara efektif di dalam masyarakat.
Esensi Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada hakekatnya memberikan aturan main kepada pelaku usaha agar melakukan aktivitas usahanya secara profesional, jujur, beretika bisnis, tertib mutu, tertib ukur dalam konteks pemenuhan persyaratan perlindungan konsumen dimana barang dan jasa yang diperdagangkannya aman untuk dikonsumsi konsumen. Bila aktivitas usaha dapat memenuhi itu semua, ditambah dengan pemenuhan preferensi konsumen maka di pasar dalam negeri diharapkan tidak ada lagi produk-produk sub standar yang beredar.
Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan asas dan tujuan, hak dan kewajiban konsumen, perbuatan yang tidak diperbolehkan dalam memproduksi dan memperdagangkan barang dan jasa, tanggung jawab pelaku usaha, pembinaan dan pengawasan yang harus dilakukan oleh pemerintah, peran kelembagaan perlindungan konsumen serta sanksi.
Pemerintah berkewajiban melakukan upaya pendidikan serta pembinaan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas hak-haknya sebagai konsumen. Melalui instrumen yang sama juga diharapkan tumbuhnya kesadaran pelaku usaha dalam aktivitasnya, yang menerapkan prinsip ekonomi sekaligus tetap menjunjung hal-hal yang patut menjadi hak konsumen.
Pemerintah bersama masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) adalah pihak-pihak yang diberi tugas untuk melakukan pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, selain dilakukan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya, juga dilakukan atas barang/jasa yang beredar di pasar.

Penyelesaian melalui LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat)

 Proses penyelesaian sengketa melalui LPKSM menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat dipilih dengan cara mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Dalam prosesnya para pihak yang bersengketa/bermasalah bersepakat memilih cara penyelesaian tersebut. Hasil proses penyelesaiannya dituangkan dalam bentuk kesepakatan (Agreement) secara tertulis, yang wajib ditaati oleh kedua belah pihak dan peran LPKSM hanya sebagai mediator, konsiliator dan arbiter. Penentuan butir-butir kesepakatan mengacu pada peraturan yang dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta undang-undang lainnya yang mendukung.

TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA

Ketika kedua pihak telah memutuskan untuk melakukan penyelesaian non-peradilan, nantinya ketika mereka akan pergi ke pengadilan (lembaga peradilan) untuk masalah yang sama, mereka hanya dapat mengakhiri tuntutan mereka di pengadilan jika penyelesaian non peradilan gagal.

ARM berdasarkan pertimbangan bahwa penyelesaian peradilan di Indonesia memiliki kecenderungan proses yang sangat formal.

Dualisme Sistem Hukum

Sistem hukum Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental
merupakan dasar bagi para penegak hukum untuk menggunakan hukum
positif dari sistem Eropa Kontinental tersebut dalam membuat setiap
keputusan. Namun di sisi lain, cukup banyak peraturan perundang-undangan
pada sektor keuangan dan perbankan yang sangat dipengaruhi oleh sistem
hukum Anglo Saxon atau Common Law. Aplikasi kedua sistem hukum yang
berbeda tersebut dalam hukum positif di Indonesia pada sektor keuangan dan
perbankan dalam banyak hal telah mengakibatkan dis-harmoni, yang dapat
terlihat dari pengaturan yang tidak konsisten satu sama lain dari kedua sistem
hukum tersebut yang berpadu dalam suatu materi yang sama.
Sebagai misal, dalam perdagangan surat berharga tanpa warkat (scriptless
trading) umumnya dipergunakan aplikasi teknologi. Hal ini telah menjadi ciri
umum perdagangan di berbagai negara maju maupun di beberapa negara
berkembangan lainnya, termasuk Indonesia. Praktik scriptless trading ini hanya
dimungkinkan apabila disertai dengan suatu tanda tangan digital yang tidak
dikenal dalam sistem hukum positif di Indonesia, yang akan mengakibatkan
perdagangan tersebut tidak sah sehingga batal dengan sendirinya atau dapat
dibatalkan.
Ketimpangan ini umumnya diselesaikan dengan suatu aturan yang mempunyai
tingkat hierarkhi yang lebih rendah dari Undang-undang. Hal ini dapat saja
dilakukan sepanjang tidak terjadi suatu perselisihan hukum. Namum dalam hal
terjadi perselisihan hukum, maka akan menjadi hal penting untuk di
indentifikasi adalah “sistem hukum mana yang akan dianut oleh para penegak
hukum?”. Jawaban tentu saja “sistem hukum positif Indonesia yakni sistem
hukum Kontinental”. Namun keadaan ini sebenarnya merupakan tantangan
bagi para ahli hukum dalam menerapkan konsep “hukum sebagai sarana
pembaharuan” yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja, yang
bermula dari konsep “law as a tool of social engineering” dari Roscoe Pound.
Dengan demikian, hukum harus diciptakan untuk kepentingan masyarakat dan
bukan sebaliknya.
Namun demikian masalah dualisme sistem hukum ini, dapat pula dipandang
sebagai suatu konvergensi positif dari dua sistem hukum yang berbeda.
Konvergensi kedua sistem hukum ini disebabkan utamanya oleh
perkembangan ekonomi dan Internasionalisasi pasar 5. Jadi, sebagai
multiplier effect dari konvergensi di bidang ekonomi, maka pada instansiinstansi
hukum yang relevan dengan bidang ekonomi juga terjadi konvergensi.
Dengan bidang ekonomi juga terjadi konvergensi. Walaupun ada konvergensi
ekonomi yang berakibat pada konvergensi di bidang hukum, pada
kenyataannya tidak semua aspek hukum yang bersifat prosedural tidak
5 Pistor, Katharina and Philip A. Wellons, The Role Of Law and Legal Institutions in Asian Economic
Development. Oxford University Press, New York-USA, 1999, hlm. 282.
terdapat konvergensi6. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan budaya
dan tradisi hukum di masing-masing negara7. Dengan dipandangnya
pertemuan yang tidak terhindarkan dari kedua sistem hukum yang berbeda ini,
maka konvergensi ini dapat lebih memudahkan regulasi yang akomodatif dan
kondusif bagi kebutuhan bisnis dan ekonomi. Patut pula dicatat faktor penting
lain yaitu kebijakan ekonomi jyang dilakukan oleh pemerintah dari negaranegara
Asia yang menjadi kunci yang determinan bagi perubahan sistem
hukum antara 1960 hingga saat ini 8.

Senin, 23 Mei 2011

Aspek Hukum Hubungan Kerja Melalui Mekanisme Outsourcing Berdasarkan UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Judul : ASPEK HUKUM HUBUNGAN KERJA MELALUI MEKANISME OUTSOURCING BERDASARKAN UU NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Penulis: Sonhaji (2007)
Sumber / Link : http://eprints.undip.ac.id/6720/
Review:
Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi disemua lini. Lingkungan yang sangat kompetitif menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respon yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggaran. Untuk itu diperlukan suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali mahagemen, dengan memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien dan produktif. Perubahan yang dimaksud adalah melalui Business Process Reengineering (BPR). BPR adalah perubahan yang dilakukan secara mendasar oleh suatu perusahaan dalam proses pengelolaannya, bukan hanya sekedar melakukan perbaikan.
BPR adalah pendekatan baru dalam managemen yang bertujuan meningkatkan kinerja, yang sangat berlainan dengan pendekatan lama yaitu Continuous Improvement Process. Salah satu efek samping BPR adalah Outsourcing. Outsourcing adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam hubungan kerja outsourcing perlu diupayakan adanya perlindungan hukum bagi pekerja.
Dengan demikian hubungan outsourcing tidak perlu dengan larangan mengadakannya, tetapi sebaliknya dengan mengadakan system perijinan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan hubungan kerja outsourcing tersebut dengan syarat-syarat yang disesuaikan dan kondisi ketenagakerjaan serta keadaan lapangan/kesempatan kerja di Indonesia. Ketentuan hubungan kerja outsourcing di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan beberapa peraturan pelaksanaannya

Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional:Upaya Konkrit Memutuskan Mata Rantai Kemiskinan

Judul :
Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional:Upaya Konkrit Memutuskan Mata Rantai Kemiskinan
Penulis:
Wiloejo Wirjo Wijono
Sumber/Link :
Review:
Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan antara lain dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, diantaranya adalah dengan pemberian akses yang luas terhadap sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha Kecil dan Mikro (UKM) yang pada dasarnya merupakan bagian dari masyarakat miskin yang mempunyai kemauan dan kemampuan produktif. Meskipun kontribusi UKM dalam PDB semakin besar, namun hambatan yang dihadapinya besar pula, diantaranya kesulitan mengakses sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal.
Peranan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam menunjang kegiatan UKM, walaupun porsinya sebagai alternatif pembiayaan masih lebih kecil dibandingkan lembaga-lembaga keuangan formal. Namun, hal ini menarik untuk dikaji sebab perkembangan LKM ternyata searah dengan perkembangan UKM sehingga dapat dinyatakan bahwa LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional.
Untuk mewujudkan hal tersebut, terdapat dua hal yang layak direkomendasikan: pertama, memperkuat aspek kelembagaan LKM sebagaimana yang selama ini telah berjalan pada lembaga-lembaga keuangan formal yaitu mempercepat pengesahan RUU tentang LKM, dan kedua, komitmen yang kuat pada pengembangan UKM yang sinergi dengan LKM. Dan pada akhirnya upaya untuk memutus rantai kemiskinan dapat dilakukan dengan cara yang produktif.

Minggu, 22 Mei 2011

TEORI PEMUNGUTAN PAJAK

Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya ''Pengantar Ilmu Hukum Pajak'', ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:
# Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyajk ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
# Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.

AKTUALISASI FUNGSI HUKUM PIDANA DALAM ERA EKONOMI GLOBAL

Jika perubahan dalam pengelolaan aktivitas ekonomidapat dilakukan dengan relatif mudah, maka fungsionalisasi sistemhukum baik hukum ekonomi maupun hukum pidana lebihmemerlukan keseksamaan. Hal ini disebabkan, sistem hukum dimasa Orde Baru dengan model planned economy cenderung tidakmemberikan jaminan kepastian hukum, sementara model marketeconomy sebagai model ekonomi masa mendatang di era ekonomiglobal dan pasar bebas, mensyaratkan dengan sangat adanyajaminan kepastian hukum ini.Untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum ini, reformasihukum merupakan conditio sine qua non, prasyarat mutlak yangharus disiapkan. Hukum pidana sebagai bagian dari sistemperadilan pidana, yang berfungsi mem-back up bekerjanya hukumekonomi, dengan sendirinya merupakan bidang hukum yang harusmengalami banyak pembenahan mendasar, sehingga dapatmemberikan jaminan kepastian hukum.

Desain Industri

Desain industri (bahasa Inggris: Industrial design) adalah seni terapan di mana estetika dan usability (kemudahan dalam menggunakan suatu barang) suatu barang disempurnakan. Desain industri menghasilkan kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna atau garis dan warna atau gabungannya, yang berbentuk 3 atau 2 dimensi, yang memberi kesan estetis, dapat dipakai untuk menghasilkan produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan. Sebuah karya desain dianggap sebagai kekayaan intelektual karena merupakan hasil buah pikiran dan kreatifitas dari pendesainnya, sehingga dilindungi hak ciptanya oleh pemerintah melalui Undang-Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri. Kriteria desain industri adalah baru dan tidak melanggar agama, peraturan perundangan, susila, dan ketertiban umum. Jangka waktu perlindungan untuk desain industri adalah 10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan Desain Industri ke Kantor Ditjen Hak Kekayaan Intelektual.
Desain Industri adalah cabang HKI yang melindungi penampakan luar suatu produk. Sebelum perjanjian TRIPS lahir, desain industri dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Namun karena perkembangan desain yang sangat pesat, maka perlu dibuatkan UU Khusus yang mengatur tentang desain industri.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Desain_industri

Definisi Munkner

  Koperasi sebagai organisasi tolong menolong yang menjalankanurusniagasecara kumpulan, yang berazaskan konsep tolong-menolong. Aktivitas dalam urusniaga semata-mata bertujuan ekonomi, bukan sosial seperti yang dikandung gotong royong.

Definisi UU No. 25/1992

Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-   seorang atau badan hukum koperasi, dengan melandaskan kegiataannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas azas kekeluargaan

Hirarki tanggung jawab

Hierarki Tanggung Jawab
Dalam rapat anggota tugasnya memilih dan memberhentikan pengawas, dan juga memilih dan memberhentikan pengurus.
Pengurus :
Tugas : 1. Mengelola koperasi dan usahanya
2. Mengajukan rancangan Rencana kerja, Budget dan belanja koperasi
3. Menyelenggarakan rapat anggota
4. Mengajukan laporan keuangan dan pertanggung jawaban
5. Maintenance daftar anggota dan pengurus
Wewenng : 1. Mewakili koperasi didalam dan diluar pengadilan
2. Meningkatkan peran koperasi
Pengawas : Perangkat organisasi yang dipilih dari anggota dan diberi mandat untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya organisasi dan usaha koperasi.
UU 25 Tahun 1992 pasal 39 ;
Bertugas untuk melakukan pengawasan kebijakan dan pengelolaan koperasi
Berwenang untuk meneliti catatan yang ada dan mendapatkan segala keterangan yang diperlukan.
Pengurus memberi kuasa kepada pengelola untuk mengatur dan mengembangkan usaha dengan efisien dan profesional, hubungannya dengan pengurus bersifat kontrak kerja, Diangkat dan diberhentikan oleh pengurus.
Pola manajemen
Menggunakan gaya manajemen yang partisipatif
Teradapat pola job description pada setiap unsur dalam koperasi
Setiap unsur memiliki ruang lingkup keputusan yang berbeda
Seluruh unsur memiliki ruang lingkup keputusan yang sama.
SUMBER :
http://community.gunadarma.ac.id/public/user/blogs/name_reztu_02/page_3/

KOPERASI MENJAWAB TANTANGAN GLOBAL DAN REGIONALISME BARU

Membangun sistem Perekonomian Pasar yang berkeadilan sosial tidaklah cukup dengan sepenuhnya menyerahkan kepada pasar. Namun juga sangatlah tidak bijak apabila menggantungkan upaya korektif terhadap ketidakberdayaan pasar menjawab masalah ketidakadilan pasar sepenuhnya kepada Pemerintah. Koperasi sebagai suatu gerakan dunia telah membuktikan diri dalam melawan ketidakadilan pasar karena hadirnya ketidaksempurnaan pasar. Bahkan cukup banyak contoh bukti keberhasilan koperasi dalam membangun posisi tawar bersama dalam berbagai konstelasi perundingan, baik dalam tingkatan bisnis mikro hingga tingkatan kesepakatan internasional. Oleh karena itu banyak Pemerintah di dunia yang menganggap adanya persamaan tujuan negara dan tujuan koperasi sehingga dapat bekerjasama.
Meskipun demikian di negeri kita sejarah pengenalan koperasi didorong oleh keyakinan para Bapak Bangsa untuk mengantar perekonomian Bangsa Indonesia menuju pada suatu kemakmuran dalam kebersamaan dengan semboyan “makmur dalam kebersamaan dan bersama dalam kemakmuran”. Kondisi obyektif yang hidup dan pengetahuan masyarakat kita hingga tiga dasawarsa setelah kemerdekaan memang memaksa kita untuk memilih menggunakan cara itu. Persoalan pengembangan koperasi di Indonesia sering dicemooh seolah sedang menegakan benang basah. Pemerintah di negara-negara berkembang memainkan peran ganda dalam pengembangan koperasi dalam fungsi “regulatory” dan “development”. Tidak jarang peran ‘”development” justru tidak mendewasakan koperasi.
Koperasi sejak kelahiranya disadari sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama. Oleh karena itu dasar “self help and cooperation” atau “individualitet dan solidaritet” selalu disebut bersamaan sebagai dasar pendirian koperasi. Sejak akhir abad yang lalu gerakan koperasi dunia kembali memperbaharui tekadnya dengan menyatakan keharusan untuk kembali pada jati diri yang berupa nilai-nilai dan nilai etik serta prinsip-prinsip koperasi, sembari menyatakan diri sebagai badan usaha dengan pengelolaan demoktratis dan pengawasan bersama atas keanggotaan yang terbuka dan sukarela. Menghadapi milenium baru dan globalisasi kembali menegaskan pentingnya nilai etik yang harus dijunjung tinggi berupa: kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan kepedulian kepada pihak lain (honesty, openness, social responsibility and caring for others) (ICA,1995). Runtuhnya rejim sosialis Blok-Timur dan kemajuan di bagian dunia lainnya seperti Afrika telah menjadikan gerakan koperasi dunia kini praktis sudah menjangkau semua negara di dunia, sehingga telah menyatu secara utuh. Dan kini keyakinan tentang jalan koperasi itu telah menemukan bentuk gerakan global.
Koperasi Indonesia memang tidak tumbuh secemerlang sejarah koperasi di Barat dan sebagian lain tidak berhasil ditumbuhkan dengan percepatan yang beriringan dengan kepentingan program pembangunan lainnya oleh Pemerintah. Krisis ekonomi telah meninggalkan pelajaran baru, bahwa ketika Pemerintah tidak berdaya lagi dan tidak memungkinkan untuk mengembangkan intervensi melalui program yang dilewatkan koperasi justru terkuak kekuatan swadaya koperasi.
Di bawah arus rasionalisasi subsidi dan independensi perbankan ternyata koperasi mampu menyumbang sepertiga pasar kredit mikro di tanah air yang sangat dibutuhkan masyarakat luas secara produktif dan kompetitif. Bahkan koperasi masih mampu menjangkau pelayanan kepada lebih dari 11 juta nasabah, jauh diatas kemampuan kepiawaian perbankan yang megah sekalipun. Namun demikian karakter koperasi Indonesia yang kecil-kecil dan tidak bersatu dalam suatu sistem koperasi menjadikannya tidak terlihat perannya yang begitu nyata.
Lingkungan keterbukaan dan desentralisasi memberi tantangan dan kesempatan baru membangun kekuatan swadaya koperasi yang ada menuju koperasi  yang sehat dan kokoh bersatu.
Menyambut pengeseran tatanan ekonomi dunia yang terbuka dan bersaing secara ketat, gerakan koperasi dunia telah menetapkan prinsip dasar untuk membangun tindakan bersama. Tindakan bersama tersebut terdiri dari tujuh garis perjuangan sebagai berikut :
­Pertama, koperasi akan mampu berperan secara baik kepada masyarakat ketika koperasi secara benar berjalan sesuai jati dirinya sebagai suatu organisasi otonom, lembaga yang diawasi anggotanya dan bila mereka tetap berpegang pada nilai dan prinsip koperasi;
Kedua, potensi koperasi dapat diwujudkan semaksimal mungkin hanya bila kekhususan koperasi dihormati dalam peraturan perundangan;
Ketiga, koperasi dapat mencapai tujuannya bila mereka diakui keberadaannya dan aktifitasnya;
Keempat, koperasi dapat hidup seperti layaknya perusahaan lainnya bila terjadi “fair playing field”;
Kelima, pemerintah harus memberikan aturan main yang jelas, tetapi koperasi dapat dan harus mengatur dirinya sendiri di dalam lingkungan mereka (self-regulation);
Keenam, koperasi adalah milik anggota dimana saham adalah modal dasar, sehingga mereka harus mengembangkan sumberdayanya dengan tidak mengancam identitas dan jatidirinya, dan;
Ketujuh, bantuan pengembangan dapat berarti penting bagi pertumbuhan koperasi, namun akan lebih efektif bila dipandang sebagai kemitraan dengan menjunjung tinggi hakekat koperasi dan diselenggarakan dalam kerangka jaringan.
Bagi koperasi Indonesia membangun kesejahteraan dalam kebersamaan telah cukup memiliki kekuatan dasar kekuatan gerakan. Daerah otonom harus menjadi basis penyatuan kekuatan koperasi untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan lokal dan arus pengaliran surplus dari bawah. Ada baiknya koperasi Indoensia melihat kembali hasil kongres 1947 untuk melihat basis penguatan koperasi pada tiga pilar kredit, produksi dan konsumsi (Adakah keberanian melakukan restrukturisasi koperasi oleh gerakan koperasi sendiri?)
Dengan mengembalikan koperasi pada fungsinya (sebagai gerakan ekonomi) atas prinsip dan nilai dasarnya, koperasi akan semakin mampu menampilkan wajah yang sesungguhnya menuju keadaan “bersama dalam kesejahteraan” dan “sejahtera dalam kebersamaan”.

Jakarta
Sumber : Noer Soetrisno Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia

KOPERASI SEKOLAH

KOPERASI SEKOLAH adalah koperasi yang diirikan di sekolah – sekolah, dimana anggotanya terdiri dari siswa sekolah tersebut.
Dasar hukum pembentukan koperasi sekolah yaitu :
Surat keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dengan Menteri Transmigrasi dan Koperasi tanggal 18 Juli 1972 Nomor 275 / KTPS / Mentranskop / 72.
Alasan / dasar pertimbangan didirikan koperasi sekolah :
  1. Menunjang program pemerintah di sektor perkoprasian melalui program pendidikan di sekolah.
  2. Menumbuhkan minat dan kesadaran berkoperasi di kalangan siswa. Agar nanti mampu berperan serta dalam pembangunan ekonomi nasional.
  3. Membina rasa tanggung jawab, disiplin, setia kawan,dan jiwa demokrasi  di kalangan siswa.
  4. Meninggalkan pengetahuan dan keterampilan berkoperasi agar dapat menerapkannya dan berguna bagi masyarakat.
Tujuan Koperasi Sekolah :
  1. Menunjang pendidikan sekolah ke arah pendidikan praktis (dalam bentuk teori dan praktek langsung), guna memenuhi kebutuhan siswa.
  2. Mendidik dan memelihara kesadaran hidup bergotong – royong dan setia kawan di antara siswa.
  3. Menanamkan rasa cinta pada sekolah, dan sifat disiplin bagi siswa.
  4. Memelihara hubungan baik dan kekeluargaan di kalangan siswa.
Ciri – ciri Koperasi Sekolah :
  1. Koperasi sekolah tidak berbdan hukum, tatapi keberadaannya di akui oleh Menteri Koperasi dan Pembinaaan Pengusaha Kecil. Jadi tedaftar sebagai koperasi terdaftar.
  2. Anggotanya terdiri dari para siswa .
  3. Jangka waktunya terbatas. Keanggotaannya berlangsung selama yang bersangkutan menjadi siswa.
  4. Koperasi sekolah diselenggarakan dalam waktu – waktu tertentu, agar tidak menggangu proses kegiatan belajar mengajar.

Kegiatan Usaha Koperasi

Pasal 4
Tujuan didirikan Koperasi adalah untuk :
  1. Meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya;
  2. Menjadi gerakan ekonomi rakyat serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional.

Pasal 5
  1. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud Pasal 4, maka-Koperasi menyelenggarakan kegiatan usaha yang berkaitan -dengan kegiatan usaha anggota, sebagai berikut :
    1. unit usaha simpan pinjam;
    2. perdagangan umum;
    3. perdagangan, perakitan, instalasi hardware dan software dan jaringan komputer serta aksesorisnya;
    4. kontraktor dan konsultan bangunan;
    5. penerbitan dan percetakan;
    6. agrobisnis dan agroindustri;
    7. jasa pendidikan, konsultan dan pelatihan pendidikan;
    8. jasa telekomunikasi umum;
    9. jasa teknologi informasi;
    10. biro jasa;
    11. jasa pengiriman barang;
    12. jasa transportasi;
    13. jasa pemasaran umum;
    14. jasa perbaikan kendaraan dan elektronik;
    15. jasa pengembangan dan konsultan olahraga;
    16. event organizer;
    17. kerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Usaha Koperasi (BUK).
    18. klinik kesehatan dan apotek;
    19. desain grafis dan galeri seni.
  2. Dalam hal terdapat kelebihan kemampuan pelayanan kepada anggota, Koperasi dapat membuka peluang usaha dengan non-anggota.
  3. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku Koperasi dapat membuka cabang atau perwakilan di tempat lain, baik didalam maupun diluar wilayah Republik Indonesia, pembukaan cabang atau perwakilan harus mendapat persetujuan Rapat Anggota.
  4. Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (3), Koperasi dapat melakukan kerjasama dengan Koperasi dan Badan Usaha
    lainnya, baik didalam maupun diluar wilayah Republik Indonesia.
  5. Koperasi harus menyusun Rencana Kerja Jangka Panjang (Business Plan) dan Rencana Kerja Jangka Pendek (tahunan) serta Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Koperasi dan disahkan oleh Rapat Anggota.
sumber : http://kodemas.com/id/node/7

Hak Kebendaan yang Bersifat Sebagai Pelunasan Hutang (Hak jaminan)

Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan utang (hak jaminan)

Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan utang (hak jaminan) adalah hak jaminan yang melekat pada kreditor yang memberikan kewenangan kepadanya untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan, jika debitor melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian).

Dengan demikian, hak jaminan tidak dapat berdiri sendiri karena hak jaminan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian utang-piutang (perjanjian kredit).

Perjanjian utang-piutang dalam KUH Perdata tidak diatur secara terperinci, namun tersirat dalam pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam pengganti, yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.

Kegunaan dari jaminan, yaitu:

1. Memberi hak dan kekuasaan kepada bank/kreditur untuk mendapatkan pelunasan agunan, apabila debitur melakukan cidera janji.
2. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usahanya/proyeknya, dengan merugikan diri sendiri, dapat dicegah.
3. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, misalnya dalam pembayaran angsuran pokok kredit tiap bulannya.

Syarat-syarat benda jaminan :

1. Mempermudah diperolehnya kredit bagi pihak yang memerlukannya.
2. Tidak melemahkan potensi/kekuatan si pencari kredit untuk melakukan dan meneruskan usahanya.
3. Memberikan informasi kepada debitur, bahwa barang jaminan setiap waktu dapat di eksekusi, bahkan diuangkan untuk melunasi utang si penerima (nasabah debitur).

Manfaat benda jaminan bagi kreditur :

1. Terwujudnya keamanan yang terdapat dalam transaksi dagang yang ditutup.
2. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur.

Sedangkan manfaat benda jaminan bagi debitur, adalah untuk memperoleh fasilitas kredit dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya.

Penggolongan jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu :

1. Jaminan yang bersifat umum

Menurut pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan harta kekayaan debitor menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditor yang memberikan utang kepadanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yakni menurut besar-kecilnya piutang masing-masing. Kecuali, jika diantara berpiutang itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.

Benda yang dapat dijadikan jaminan yang bersifat umum apabila telah memenuhi persyaratan, antara lain :

1. benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
2. benda tersebut dapat di pindah tangankan haknya kepada pihak lain.

2. Jaminan yang bersifat khusus

Merupakan hak khusus bagi jaminan tertentu bagi pemegang gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia.

Sumber :
http://0wi3.wordpress.com/2010/03/20/subjek-dan-objek-hukum/

Azas-azas dalam Hukum Perikatan

Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.

· Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

· Asas konsensualisme

Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.

Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah

1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri

Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.

2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian

Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.

3. Mengenai Suatu Hal Tertentu

Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.

4. Suatu sebab yang Halal

Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

sumber : http://yasmineszone.blogspot.com/2011/02/azas-azas-dalam-hukum-perikatan.html

Wanprestasi dan akibat-akibatnya

Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni

1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.

3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

SUMBER :
http://kennysiikebby.wordpress.com/2011/03/07/wanprestasi-dan-akibat-akibatnya/

Hapusnya Perikatan

Hapusnya perikatan (ps 1381 KUHPdt) disebabkan:
a. Karena pembayaran
b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
c. Karena pembaharuan hutang
d. Karena perjumpaan utang atau kompensasi
e. Karena pencampuran utang
f. Karena pembebasan utang
g. Karena musnahnya barang yang terutang
h. Karena batal atau pembatalan
i. Karena berlakunya syarat pembatalan
j. Karena lewat waktu atau kadaluarsa

Hukum Perjanjian

Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda), contract /agreement (bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum.
Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari istilah tersebut tidak diberikan.
Pada pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian perjanjian, adalah : suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Namun para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.
Jenis-jenis kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut ialah :
  • Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.
    • Berkaitan dengan perjanjian syarat batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
  • Jika suatu perjanjian timbal balik saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji tidak dipenuhi seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir BHP. Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan perjanjian tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan, kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan dalam tulisan.
Pelaksanaan kontrak
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341 KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang mempunyai tugas untuk melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang berhubungan langsung dengan pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etiket baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket baik terkesan hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, tidak ada fase-fase lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
Asas yang mengikat dalam pelaksanaan kontrak
Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :
  1. Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
  2. Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
  3. Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan belum juga dalam kebiasaan karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka harus diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman pada kepatutan.
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
  1. Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan, contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
  2. Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
Pembatalan perjanjian yang menimbulkan kerugian
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak.
Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
  1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali
  2. Terlambat memenuhi prestasi, dan
  3. Memenuhi prestasi secara tidak sah
Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan kerugian berupa :
  1. Pemenuhan perikatan
  2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
  3. Ganti rugi
  4. Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
  5. Pembatalan dengan ganti rugi
Syarat-syarat sah perjanjian
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1.  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
     Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2.  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
     Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka  yang berada dibawah pengampunan.
3.  Mengenai suatu hal tertentu
     Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4.  Suatu sebab yang halal
     Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.

sumber : http://0wi3.wordpress.com/2010/04/20/hukum-perjanjian/

Macam-macam Perjanjian

Ditinjau dari berbagai segi, Perjanjian Internasional dapat digolongkan ke dalam 4 (empat) segi, yaitu:
1. Perjanjian Internasional ditinjau dari jumlah pesertanya
Secara garis besar, ditinjau dari segi jumlah pesertanya, Perjanjian Internasional dibagi lagi ke dalam:
a. Perjanjian Internasional Bilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang jumlah peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalamnya terdiri atas dua subjek hukum internasional saja (negara dan / atau organisasi internasional, dsb). Kaidah hukum yang lahir dari perjanjian bilateral bersifat khusus dan bercorak perjanjian tertutup (closed treaty), artinya kedua pihak harus tunduk secara penuh atau secara keseluruhan terhadap semua isi atau pasal dari perjanjian tersebut atau sama sekali tidak mau tunduk sehingga perjanjian tersebut tidak akan pernah mengikat dan berlaku sebagai hukum positif, serta melahirkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku hanyalah bagi kedua pihak yang bersangkutan. Pihak ketiga, walaupun mempunyai kepentingan yang sama baik terhadap kedua pihak atau terhadap salah satu pihak, tidak bisa masuk atau ikut menjadi pihak ke dalam perjanjian tersebut.
b. Perjanjian Internasional Multilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalam perjanjian itu lebih dari dua subjek hukum internasional. Sifat kaidah hukum yang dilahirkan perjanjian multilateral bisa bersifat khusus dan ada pula yang bersifat umum, bergantung pada corak perjanjian multilateral itu sendiri. Corak perjanjian multilateral yang bersifat khusus adalah tertutup, mengatur hal-hal yang berkenaan dengan masalah yang khusus menyangkut kepentingan pihak-pihak yang mengadakan atau yang terikat dalam perjanjian tersebut. Maka dari segi sifatnya yang khusus tersebut, perjanjian multilateral sesungguhnya sama dengan perjanjian bilateral, yang membedakan hanya dari segi jumlah pesertanya semata. Sedangkan perjanjian multilateral yang bersifat umum, memiliki corak terbuka. Maksudnya, isi atau pokok masalah yang diatur dalam perjanjian itu tidak saja bersangkut-paut dengan kepentingan para pihak atau subjek hukum internasional yang ikut serta dalam merumuskan naskah perjanjian tersebut, tetapi juga kepentingan dari pihak lain atau pihak ketiga. Dalam konteks negara, pihak lain atau pihak ketiga ini mungkin bisa menyangkut seluruh negara di dunia, bisa sebagian negara, bahkan bisa jadi hanya beberapa negara saja. Dalam kenyatannya, perjanjian-perjanjian multilateral semacam itu memang membuka diri bagi pihak ketiga untuk ikut serta sebagai pihak di dalam perjanjian tersebut. Oleh karenanya, perjanjian multilateral yang terbuka ini cenderung berkembang menjadi kaidah hukum internasional yang berlaku secara umum atau universal.
2. Perjanjian Internasional ditinjau dari kaidah hukum yang dilahirkannya
Penggolongan Perjanjian Internasional dari segi kaidah terbagi dalam 2 (dua) kelompok:
a. Treaty Contract. Sebagai perjanjian khusus atau perjanjian tertutup, merupakan perjanjian yang hanya melahirkan kaidah hukum atau hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian ini bisa saja berbentuk perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral. Perlu menjadi catatan bahwa sebagaimana sifatnya yang khusus dan tertutup menyangkut kepentingan-kepentingan para pihak yang bersangkutan saja, maka tidak ada relevansinya bagi pihak lain untuk ikut serta sebagai pihak di dalamnya dalam bentuk intervensi apapun, maupun relevensinya bagi para pihak yang bersangkutan untuk mengajak atau membuka kesempatan bagi pihak ketiga untuk ikut serta di dalamnya.
b. Law Making Treaty. Sebagai perjanjian umum atau perjanjian terbuka, merupakan perjanjian-perjanjian yang ditinjau dari isi atau kaidah hukum yang dilahirkannya dapat diikuti oleh subjek hukum internasional lain yang semula tidak ikut serta dalam proses pembuatan perjanjian tersebut. Dengan demikian perjanjian itu, ditinjau dari segi isi atau materinya maupun kaidah hukum yang dilahirkannya tidak saja berkenaan dengan kepentingan subjek-subjek hukum yang dari awal terlibat secara aktif dalam proses pembuatan perjanjian tersebut, melainkan juga dapat merupakan kepentingan pihak-pihak lainnya. Oleh karena itulah dalam konteks subjek hukumnya adalah negara, biasanya negara-negara perancang dan perumus perjanjian itu membuka kesempatan bagi negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk ikut sebagai peserta atau pihak dalam perjanjian tersebut. Semakin bertambah banyak negara-negara yang ikut serta di dalamnya maka semakin besar pula kemungkinannya menjadi kaidah hukum yang berlaku umum. Law making treaty ini pun dapat dijabarkan lagi berdasarkan jenisnya menjadi:
i. Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah yang diaturnya adalah masalah yang menjadi kepentingan beberapa negara saja.
ii. Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah yang diatur di dalamnya merupakan kepentingan sebagian besar atau seluruh negara di dunia.
iii. Perjanjian terbuka atau umum yang berdasarkan ruang lingkup masalah ataupun objeknya hanya terbatas bagi negara-negara dalam satu kawasan tertentu saja.
3. Perjanjian Internasional ditinjau dari prosedur atau tahap pembentukannya
Dari segi prosedur atau tahap pembentukanya Perjanjian Internasional dibagi ke dalam dua kelompok yaitu:
a. Perjanjian Internasional yang melalui dua tahap. Perjanjian melalui dua tahap ini hanyalah sesuai untuk masalah-masalah yang menuntut pelaksanaannya sesegera mungkin diselesaikan. Kedua tahap tersebut meliputi tahap perundingan (negotiation) dan tahap penandatanganan (signature). Pada tahap perundingan wakil-wakil para pihak bertemu dalam suatu forum atau tempat yang secara khusus membahas dan merumuskan pokok-pokok masalah yang dirundingkan itu. Perumusan itu nantinya merupakan hasil kata sepakat antara pihak yang akhirnya berupa naskah perjanjian. Selanjutnya memasuki tahap kedua yaitu tahap penandatangan, maka perjanjian itu telah mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersangkutan. Dengan demikian, tahap terakhir dalam perjanjian dua tahap, mempunyai makna sebagai pengikatan diri dari para pihak terhadap naskah perjanjian yang telah disepakati itu.
b. Perjanjian Internsional yang melalui tiga tahap. Pada Perjanjian Internasional yang melalui tiga tahap, sama dengan proses Perjanjian Internasionl yang melalui dua tahap, namun pada tahap ketiga ada proses pengesahan (ratification). Pada perjanjian ini penandatangan itu bukanlah merupakan pengikatan diri negara penandatangan pada perjanjian, melainkan hanya berarti bahwa wakil-wakil para pihak yang bersangkutan telah berhasil mencapai kata sepakat mengenai masalah yang dibahas dalam perundingan yang telah dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian. Agar perjanjian yang telah di tandatangani oleh wakil-wakil pihak tersebut mengikat bagi para pihak, maka wakil-wakil tersebut harus mengajukan kepada pemerintah negaranya masing-masing untuk disahkan atau diratifikasi. Dengan dilalui tahap pengesahan atau tahap ratifikasi ini, maka perjanjian itu baru berlaku atau mengikat para pihak yang bersangkutan. Ditinjau dari sudut isi maupun materi dari perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap ini, pada umumnya menyangkut hal-hal yang mengandung nilai penting atau prinsipil bagi para pihak yang bersangkutan. Hanya saja kriteria mengenai penting atau tidak pentingnya masalah tersebut, ditentukan sepenuhnya oleh negara-negara yang bersangkutan.
4. Perjanjian Internasional ditinjau dari jangka waktu berlakunya
Pembedaan atas Perjanjian Internasional berdasarkan atas jangka waktu berlakunya, secara mudah dapat diketahui pada naskah perjanjian itu sendiri, sebab dalam beberapa Perjanjian Internasional hal ini ditentukan secara tegas. Namun demikian, dalam hal Perjanjian Internasional tersebut tidak secara tegas dan eksplisit menetapkan batas waktu berlakunya, dibutuhkan pemahaman yang mendalam akan sifat, maksud dan tujuan perjanjian itu, karena hakikatnya perjanjian itu dimaksudkan untuk berlaku dalam jangka waktu tertentu atau terbatas. Misalnya, jika objek yang diperjanjikan itu sudah terlaksana atau terwujud sebagaimana mestinya, maka perjanjian tersebut berakhir dengan sendirinya. Ada memang perjanjian-perjanjian yang tidak menetapkan batas waktu berlakunya karena dimaksudkan berlaku sampai jangka waktu yang tidak terbatas, sepanjang dan selama perjanjian itu masih dapat memenuhi keinginan para pihak atau masih mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan umum, namun sesungguhnya perjanjian ini tetap terbatas, yakni pada kebutuhan dan perkembangan zaman itu sendiri. Dilihat dari sudut materinya, corak perjanjian ini merupakan perjanjian yang mengandung kaidah hukum yang penting, terutama bagi para pihak yang bersangkutan.

sumber: http://gmuzayyin.blog.telkomspeedy.com/2008/12/31/sumber-hukum-internasional/

Syarat Sahnya Perjanjian

1 Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak.
2.Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 th bagi wanita.
Menurut UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 th bahi laki-laki, 16 th bagi wanita.
Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum.
3.Adanya Obyek.
Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas.
4.Adanya kausa yang halal.
Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
 Sumber :  http://amelia27.wordpress.com/2008/12/03/syarat-sahnya-perjanjian-pasal-1320-kuhperdata/

Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian

Salah satu pihak (biasanya debitur atau pembeli yang berhubungan bisnis dengan perusahaan besar) tidak memiliki hak memilih yang berarti terhadap beberapa atau seluruh persyaratan kontrak;
persyaratan kontrak biasanya ditetapkan oleh pihak yang memiliki kedudukan kontraktual yang lebih kuat dihadapkan pada harapan-harapan pihak yang berkedudukan lebih lemah.
Pelaksanaannya:
1. dibuat agar suatu industri atau bisnis dapat melayani transaksi tertentu secara efisien, khususnya untuk digunakan dalam akti- vitas transaksional yang diperkirakan akan berfrekuensi tinggi;
2. dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang cepat bagi penggunanya, tetapi juga mampu memberikan kepastian hukum bagi pembuatnya;
3. demi pelayanan cepat, ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis dan dipersiapkan untuk dapat digandakan dan ditawarkan dalam jumlah sesuai kebutuhan;
4. isi persyaratan distandarisir atau dirumuskan terlebih dahulu secara sepihak;
5. dibuat untuk ditawarkan kepada publik secara massal.

Sumber : http://evianthyblog.blogspot.com/2011/03/hukum-perjanjian-pembatalan-dan.html

Pengaruh Fundamental Keuangan, Tingkat Bunga dan Tingkat Inflasi terhadap Pergerakan Harga Saham

Judul :
Pengaruh Fundamental Keuangan, Tingkat Bunga dan Tingkat Inflasi terhadap Pergerakan Harga Saham
Pengarang/Penulis :
Yogi Permana
Alamat/Sumber Jurnal :
Review Jurnal :
Analisis yang telah dilakukan terhadap  hasil studi ini memberikan beberapa
kesimpulan, yang meliputi:
 Investasi saham di pasar modal membutuhkan beberapa informasi untuk membantu para investor dalam melakukan pengambilan keputusan. Pasar modal yang efisien merupakan pasar yang mencerminkan semua informasi yang relevan terhadap harga sekuritas saham. Informasi relevan tersebut dapat di peroleh dari kinerja fundamental keuangan emiten dan kondisi makro ekonomi. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar pengaruh secara simultan maupun parsial antara fundamental keuangan emiten diwakili oleh EPS, PER, BVS, PBV, ROE sementara kondisi ekonomi diwakili tingkat suku bunga SBI dan tingkat inflasi dihubungkan dengan pergerakan harga saham perusahaan semen periode 2006 – 2008 secara kuartalan.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Fundamental, suku bunga, inflasi mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap perubahan harga saham perusahaan semen sedangkan Secara parsial hanya variabel PBV mempunyai pengaruh secara signifikan.
1 Berdasarkan pengujian secara bersama-sama,  diketahui bahwa ketujuh variabel bebas
(EPS, PER, BVS, PBV, ROE, tingkat bunga SBI, dan tingkat inflasi) memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap harga saham.
2 Berdasarkan pengujian secara parsial, diketahui bahwa kedua variabel variabel bebas
yaitu hanya PBV yang memiliki pengaruh signifikan terhadap harga saham, pada
perusahaan-perusahaan Semen yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
3 Penelitian untuk berikutnya diharapkan memasukkan variabel-variabel independen lain
yang berpengaruh terhadap variabel dependen, yang belum dimasukkan dalam model
penelitian ini. Karena masih terdapat 54,9 % variabel independen lain yang tidak terdapat
dalam model ini. Seperti faktor nilai tukar rupiah terhadap mata uang keras, pembagian
dividend, kebijakan BEJ dan lain-lain.

Hubungan Hukum Perdata dengan Hukum Dagang

Hukum dagang adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dan lainnya dalam bidang perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus, KUH Perdata merupakan lex generalis (hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis derogate lex generalis (hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPerdata, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPerdata.
KUHD lahir bersama KUH Perdata yaitu tahun 1847 di Negara Belanda, berdasarkan asas konkordansi juga diberlakukan di Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 kedua kitab tersebut berlaku di Indonesia. KUHD terdiri atas 2 buku, buku I berjudul perdagangan pada umumnya, buku II berjudul Hak dan Kewajiban yang timbul karena perhubungan kapal.
Hukum Dagang di Indonesia bersumber pada :
1. hukum tertulis yang dikodifikasi yaitu :
a. KUHD
b. KUH Perdata
2. hukum tertulis yang tidak dikodifikasi, yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan, misal UU Hak Cipta.
Materi-materi hukum dagang dalam beberapa bagian telah diatur dalam KUH Perdata yaitu tentang Perikatan, seperti jual-beli,sewa-menyewa, pinjam-meminjam. Secara khusus materi hukum dagang yang belum atau tidak diatur dalam KUHD dan KUH Perdata, ternyata dapat ditemukan dalam berbagai peraturan khusus yang belum dikodifikasi seperti tentang koperasi, perusahaan negara, hak cipta dll.
Hubungan antara KUHD dengan KUH perdata adalah sangat erat, hal ini dapat dimengerti karena memang semula kedua hukum tersebut terdapat dalam satu kodefikasi. Pemisahan keduanya hanyalah karena perkembangan hukum dagang itu sendiri dalam mengatur pergaulan internasional dalam hal perniagaan.
Hukum Dagang merupakan bagian dari Hukum Perdata, atau dengan kata lain Hukum Dagang meruapkan perluasan dari Hukum Perdata.
Untuk itu berlangsung asas Lex Specialis dan Lex Generalis, yang artinya ketentuan atau hukum khusus dapat mengesampingkan ketentuan atau hukum umum.
KUHPerdata (KUHS) dapat juga dipergunakan dalam hal yang daitur dalam KUHDagang sepanjang KUHD tidak mengaturnya secara khusus.
http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=10&ved=0CFUQFjAJ&url=http%3A%2F%2Fstaff.ui.ac.id%2Finternal%2F090603089%2Fmaterial%2FHUKUMPERDATA.doc&rct=j&q=1.%09Hubungan%20Hukum%20Perdata%20dengan%20Hukum%20Dagang&ei=S55jTdatKY_qrQeUgpHUAg&usg=AFQjCNFr8Kq8w4_XgDPDUx3QBYMhYrpahw&cad=rja